Bergegas aku turun dari angkutan umum dan langsung menuju ke sebuah cafe karena di dalam sana pasti si Vina telah menungguku setelah setengah jam yang lalu ia menelfon diriku.
Aku amati tulisan yang menggantung di kaca cafe bagian depan 'Open' begitu bunyinya.
Aku tersenyum simpul, ku kira itu tulisan 'Open' artinya sebuah barang yang untuk pemanas roti dan sebagainya, heheee.
"Selamat malam mas," Sapaku pada seorang lelaki muda berseragam yang duduk di balik sebuah meja.
"Silahkan," Kata dia. Aku duduk agak ke pojok ruangan karena itu tempat kesukaanku meski diriku bukanlah makhluk abstral.
Pandanganku menyapu ke setiap meja di ruangan itu, tapi si Vina tak ada diantara mereka.
"Mana Vina? Ah, dia belum datang rupanya," Suaraku lirih diantara alunan lagunya Agnes Monica 'Boy Naget'.
"Ini mas, silahkan," Seorang gadis berparas manis meletakkan gelas minuman yang tadi aku pesan.
"Terima kasih mbak," Ucapku dan langsung menyambar gelas tersebut karena kerongkongan sudah terasa haus sejak tadi.
Aku memandang ke arah mereka, suara gelak tawa terdengar dari orang-orang yang duduk tidak jauh dariku. Keceriaan terpancar dari wajah-wajah mereka, aku pun agak iri mengingat diriku yang tengah bersedih.
Hampir satu jam aku duduk di ruangan itu. Segelas minuman di hadapanku telah habis, tinggal gelas kaca isinya tak tersisa.
Kupermainkan gelas tersebut dengan mengelus-elusnya. Sebentar kemudian aku memesannya lagi karena haus masih kurasakan.
"Hei Vin. Bagaimana ini, kamu jadi datang tidak?" Tanyaku lewat phonsel.
"Jadi Rud. Sorry, tadi ada tamu mendadak. Sebentar aku ke situ," Ujarnya, pembicaraan pun ditutup.
Kuhela nafas, kembali tatapanku ke arah orang-orang itu. Sebuah wajah mengingatkan diriku pada seorang wanita yang pernah singgah di hatiku, dulu.
"Lestari? Ah bukan, dia telah lama meninggal dan tak mungkin kembali lagi ke dunia ini," Diriku gelisah, apa yang kulihat telah membuatku teringat kembali ke masa silam dimana ada saat-saat bahagia dan sedih bersama Lestari, tapi hal itu telah lama kusingkirkan karena dirinya yang telah tiada.
Dia menoleh ke arahku. Dia menatapku, memperhatikan diriku, seolah mengenalku.
"Hei Rud. Maaf ya, tadi ada tamu di rumah," Suara Vina yang baru tiba dan langsung duduk disampingku. Apa yang kupikirkan menjadi buyar oleh kehadirannya.
"I..iya Vina. Nggak apa-apa.
Mas, minumannya lagi, ya.
Tamu siapa Vin?"
"Tamunya bapak, karena pabak dan ibu tak ada di rumah ya... jadinya aku yang menemuinya.
Oh iya Rud, bagaimana dengan rencana kita minggu depan itu? Sepertinya susah terlaksana deh,"
"Tidak apa-apa Vin, yang penting kita berusaha dulu, siapa tahu nanti berhasil," Kataku dan pandangan kembali memperhatikan wanita di meja tak jauh dariku.
Dia kembali memperhatikan aku. Mendadak dadaku tergetar oleh tatapan matanya. Jika aku perhatikan dengan seksama, dia mirip sekali dengan Lestari. Tapi mana mungkin yang telah mati akan kembali?
Tak kusangka, wanita itu berdiri dan berjalan ke arahku.
"Mas Rudi Prawirodirjo kan?" Kata dia yang berdiri di hadapanku dan sangat membuatku terkejut juga bingung. Dia yang tidak aku kenal ternyata mengenalku, dan yang paling membuatku berdesir adalah dirinya mirip sekali sama Lestari.
"Iya, kok tahu. Anda ini siapa?"
"Kenalkan mas, namaku Larasati Suciwati, adiknya mbak Lestari Suciwati," Dia duduk di kursi itu, dia mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Aku terhenyak, nafasku serasa berhenti. Wanita itu sama persis dengan kekasihku dulu, Lestari Suciwati.
"Larasati Suciwati, adiknya Lestari? Tapi... Lestari kok tidak pernah menceritakan kalau dirinya punya saudara kembar,"
"Masa? Mungkin dia lupa mas.
Memang sih, aku dan mbak Lestari nggak kumpul. Mbak Lestari ikut ibu, sementara aku ikut bapak.
Oh iya, aku tahu kalau mbak Lestari punya pacar di masa hidupnya saat aku ke rumah ibu dan beres-beres di kamarnya. Aku menemukan sepucuk surat yang di dalamnya juga ada foto cowok, wajahnya mirip kamu. Makanya tadi aku selalu memperhatikan kamu, benar apa tidak jika kamu adalah mas Rudi Prawirodirjo, eh ternyata benar,"
"Oh begitu. Iya benar, dulu aku pernah mengirimkan surat kepadanya.
Eh lupa, kenalkan, dia temanku, namanya Vina," Mereka berkenalan. Kami kemudian berbincang sampai lama tentang banyak hal. Saat itu, entah kenapa diriku berdesir tidak karuan berdekatan dengan Larasati. Bisa jadi karena dia sangat mirip dengan Lestari, tapi tak mungkin aku mencintainya hanya untuk mendapatkan cinta dan belai kasih seperti yang pernah Lestari dulu berikan. Yach... tak mungkin, karena kini telah ada Vina yang selalu menemani hariku.
Semuanya tidak kusangka kalau diriku akan bertemu dengan Larasati, adiknya almarhumah Lestari di cafe itu.
Malam semakin larut, kami beranjak dari tempat duduk untuk pulang ke tempat masing-masing.
Setelah membayar minuman dan makanan tadi, aku keluar cafe dengan menggandeng tangan si Vina.
Aku tersenyum melihat tulisan 'Open' yang tergantung di kaca cafe, dan mungkin esuk diriku akan kembali ke sana bersama Vina, kekasihku, untuk membuka lembaran lain dari cinta kami. (*)
0 Tanggapan untuk "Open Lembaran Lain"
Posting Komentar