Letih rasanya diriku setelah seharian memeras keringat, berjibaku dengan rutinitas yang tak bisa ditinggalkan. Jika semua rutinitas tersebut aku tinggalkan maka kebutuhan sudah pasti tidak terpenuhi mengingat diriku adalah si miskin yang tergantung dalam mimpi.
Pelan kuhela nafas, menatap ujung barat dimana sinar matahari sebentar lagi akan tenggelam dan tergantikan oleh malam.
Aku rogoh saku celana, bungkus rokok ku keluarkan. Tinggal satu, gumamku, lantas melolos rokok tersebut.
Mataku kembali menatap ke arah barat, kini sudah meremang.
Aku tersenyum tipis, seorang anak kecil terpeleset saat mengejar bus kota yang berjalan pelan.
Asap mengepul disela bibirku karena batang rokok telah ku sulut.
"Uhuk uhuk. Woi, hati-hati," Aku terbatuk, tenggorokan kering. Seorang anak kecil lagi berlari dan menyenggol lututku yang duduk, hampir saja dia terjatuh. Anak kecil tadi menoleh, dia menatapku lalu tertawa.
"Si om lucu, hahahaaa," Dia tertawa dengan menutupi mulutnya, mungkin malu jika giginya yang hitam itu terlihat olehku.
"Lucu? Memangnya kenapa?!"
"Itu, hidungnya hitam seperti badut," Lantas di berlari mengejar sebuah angkutan umum yang tampak mendekat. Anak-anak itu adalah gembel yang sering mangkal di perempatan jalan tidak jauh dariku duduk. Mereka kenal denganku, bahkan boleh dibilang akrab karena aku srndiri sering mengobrol dengan mereka.
"Hidung ku hitam? Ah masa," Aku seka hidungku yang katanya hitam. Benar saja, sisa oli kendaraan menempel di hidungku. Ya... tadi aku sampai lupa membasuh muka sebelum berganti pakaian dan melangkah pulang karena tadi ada kabar kurang baik kuterima dari keluarga. Makanya aku sangat tergesa dan ingin cepat sampai di rumah.
"Maaf mas, untuk ke Kendal harus naik apa ya?" Seorang cewek mendekat kepadaku dan bertanya sesuatu.
"Naik bus antar kota mbak. Sebentar lagi busnya juga lewat," Kataku. Aku tidak berkedip dalam memandangnya, sebab dia lumayan cantik. Dia kemudian duduk di dekatku.
Rokok Marlboro yang kuhisap telah habis. Aku dan cewek tadi berbincang ngalor ngidul tak menentu sambil menunggu bus yang sama karena aku pun hendak ke daerah Kendal.
Suasana kian meremang saja. Semburat senja sebentar lagi akan hilang. Namun bus yang kami tunggu tidak terlihat juga.
"Jam berapa ini? Kok busnya tidak ada yang lewat," Pura-pura aku menanyakan pukul berapa pada cewek tersebut, padahal aku bisa saja menengok waktu di hpku.
"Sudah jam... hampir jam 18.00 mas.
Iya nih, kenapa busnya tidak lewat, ya?" Dia menatapku tanpa senyum., seakan ada kekesalan yang tengah ia rasakan.
"Oh, hampir jam enam petang toh? Aduh...!
Senja, andai saja kamu mau bergerak mundur dan sekarang jam lima sore, pastinya aku tidak gelisah seperti ini," Aku melirik ke arahnya. Dia menatapku, lalu tersenyum.
"Ya nggak bisa toh mas..., waktu kok disuruh mundur. Kamu ini ada-ada saja mas... mas,"
"Yaaaaa, barangkali saja bisa, heheheee.
Maaf, namamu siapa? Namaku Paiman," Aku tersenyum.
"Namaku Siti. Itu bukan busnya?"
"Iya benar," Kami berdiri. Sebentar kemudian kami naik ke bus tersebut.
Disepanjang perjalanan aku dan dia berbincang dan bercanda hingga tak terasa cewek bernama Siti itu pamit untuk turun karena sudah sampai di daerah yang dimaksud. Sebuah senyuman aku lemparkan kepadanya dengan harapan cewek tadi tidak lupa dengan diriku, dia pun membalas senyumanku.
Bus mekanjutkan lajunya dan meninggalkan Siti yang berjalan menuju ke sebuah gang jalan.
Hari berikutnya aku tetap seperti biasa, berangkat ke Semarang untuk bekerja di daerah sana.
Setiap aku selesai bekerja dan hendak pulang, diriku selalu nongkrong di perempatan jalan itu, menunggu bus dan bercanda bersama anak-anak jalanan tersebut.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kini aku sering bertemu dengan Siti, si cewek cantik itu. Dia ternyata juga bekerja di salah satu Swalayan di daerah Semarang, dan setiap hari harus pulang pergi naik bus seperti halnya diriku. Jadinya, aku sering menikmati senja di Semarang bersamanya, Siti. (*)
0 Tanggapan untuk "Saat Senja di Semarang"
Posting Komentar