Suamiku Bejat, Rumah Tangga Ku Hancur

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika pernikahanku dengan Budi akan berakhir seperti ini. Rumah tanggaku kandas di tengah jalan dalam niat membangun bahtera yang indah, sejahtera, dan damai. Semua ini berawal dari Budi (kini tak kuanggap suami) yang dengan semena-mena berlaku buruk kepadaku.
Budi sering menyakiti ragaku dengan asal main pukul hanya karena sebuah masalah sepele, seperti tidak adanya rokok dan kopi tersedia di meja. Dan yang lebih membuat hatiku sakit adalah bagaimana dia sering main wanita. Kelakuannya yang ini sangat tidak dapat ditoleransi lagi, sebab Budi sering membawa wanita tersebut ke rumah.
Sudah beberapa kali diriku mengingatkan agar dia tidak membawa wanita ke rumah, tapi apa yang terjadi? Dia marah-marah kepadaku, memukuliku. Pernah juga dia memukulku dihadapan si wanita yang ia bawa. Sangat sakit! Sakit disekujur tubuh mudah diobati, lha sakitnya hati ini?

Sebenarnya sudah sedari awal keluargaku tidak menyukai Budi. Ibu dan bapak juga tidak merestui pernikahan kami, tapi apa boleh buat? Pernikahan itu harus tetap dijalankan karena perutku yang semakin hari membesar.
Waktu itu, hujan datang dengan tiba-tiba. Aku yang tak membawa payung dan jas hujan akhirnya memutuskan untuk berteduh disebuah teras rumah.
Aku berharap hujan itu segera reda karena hari telah sore dan tak mungkin diriku hujan-hujanan, sebab aku alergi dengan air hujan. Jika aku memaksa berhujan-hujanan maka asmaku akan kambuh, dan parah, juga kepala akan terasa sangat berat sekali dan ujung-ujungnya aku bisa terbaring di atas kasur sampai semingguan. Hal itu tentu akan mengganggu karirku sebagai pengelola toko butik di pinggiran kota tempat tinggalku.
Aku memandangi air hujan yang jatuh dari genting rumah tersebut. Tiba-tiba datang seorang pria dengan kendaraannya dan berhenti di depan rumah yang aku jadikan tempat berteduh dari hujan.
Pria tadi memandangku penuh tanya, kemudian tersenyum kepadaku. Aku yang tidak tahu siapa dia pun menganggukkan kepala sebagai tanda rasa hormatku kepadanya.
Pria tadi mendorong motornya masuk ke dalam rumah tersebut, dan aku berpikir kalau dia adalah pemilik rumah itu. Benar saja, pria tadi keluar dan menemuiku. Dia menanyakan siapa aku dan lain sebagainya.
Kami berbincang-bincang sebentar lalu berkenalan. Ternyata namanya adalah Budi Santoso, anak dari yang punya rumah tersebut.
Hampir satu jam kami berbincang, kemudian aku pamit untuk melanjutkan pwrjalanan pulang ke rumah karena hujan telah reda.
Tanpa aku minta, Budi menawarkan diri untuk mengantarku. Belum juga aku jawab tawarannya tersebut, dia mengeluarkan kendaraannya dan bilang akan mengantaeku sampai di rumah, serius. Aku tidak dapat menolaknya karena kelihatannya niatnya baik dan tidak ada itikad jelek. Kami pun melaju menuju rumahku.
Sesampai di depan rumahku, Budi langsung pamit pulang, katanya hari sudah petang dan sebentar lagi ajan ada tamu dayang ke rumahnya. Jadinya ya... dia tidak masuk ke dalam rukahku.

Perkenalanku dengan Budi di rumahnya itu berlanjut. Dia sering datang ke rumahku. Dia juga sering datang ke toko butik ku. Meskipun aku punya toko butik, tapi tidak lantas bisa hidup enak dan bergaya, buktinya aku pulang pergi ke toko ku naiknya angkutan umum. Ingin sih membeli mobil atau paling tidak sepeda motor, tapi lagi-lagi uang tak cukup, karena banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, belum lagi biaya kuliahnya adikku yang ditimpakan kepadaku oleh ibu dan bapak.
Dengan seringnya kami bertemu itu kemudian timbul empatiku terhadap Budi. Dia juga dengan terang-terangan menyatakan perasaannya kepadaku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku terima cintanya, toh dia cukup baik kepadaku selama ini, dan pastinya karena Budi itu berwajah ganteng, badannya jugavtegap. Itulah yang lantas membuatku cepat mengambil keputusan menerima cintanya.

Aku sangat mencintai Budi, begitu sebaliknya. Makanya aku mengiyakan saja saat dia meminta sesuatu dariku walaupun itu kehormatanku sebagai seorang perawan.
Hari itu, terjadilah yang dia inginkan.
Budi mengajak diriku untuk ke rumahnya. Aku ikut saja, toh waktu itu masih siang dan pasti rumahnya tidak sepi karena ada ibunya dia disana, pikirku. Tapi salah, rumah dia sangat sepi. Orang tuanya pada tidak ada di rumah. Hal itu aku ketatahui setelah masuk ke dalam dan menanyakan ibunya.
Biasalah, sebagai orang yang tengah dimabuk asmara, kami melakukan ciuman dan cumbuan, walaupun hal itu belum pernah aku lakukan sebelumnya dengan lelaki manapun.
Lama-kelamaan kami terbawa oleh suasana romantis. Sebentar kemudian Budi memintaku untuk bersedia melakukan perbuatan itu. Mulanya aku tidak mau karena takut, tapi Budi terus merayuku hingga diriku terpojokan dalam dekapan birahinya.
Aku pasrah tak dapat menolaknya saat Budi menanggalkan semua pakaianku dan melakukan belaian-belaian itu.
Kami terus berpacu dalam nafas dosa, dan hal seperti itu sering kami lakukan di hari-hari berikutnya.

Apa yang telah aku lakukan bersama Budi berbuah sesuatu. Aku hamil, dan aku sangat takut karena status kami yang belum resmi menikah.
Berulang kali Budi kumintai pertanggungan jawaban atas janin yang tengah aku kandung. Meski tadinya mengulur-ngulur waktu, akhirnya dia menikahiku saat usia kehamilan memasuki tujuh bulan.
Aku tak menyangka, Budi yang tadinya baik, bersikap lembut kepadaku itu dengan cepat berubah kasar. Dia sering main tangan saat ada masalah, walaupun masalahnya kecil. Dan aku sangat kaget dengan pengakuannya bahwa sebenarnya ia bekerja di terminal bus sebagai calo, bukan seorang tentara seperti yang pernah dia katakan kepadaku sebelum menikmati tubuhku waktu itu.
Mendengar pengakuannya itu aku sangat kecewa, namun mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terlanjur terjadi.

Meskipun Budi bekerja sebagai calo di terminal bus, tapi aku mencoba untuk menerimanya, toh dia sudah berusaha untuk bekerja, dari pada dia jadi penggangguran? Pikirku dan mencoba untuk tabah menghadapi semuanya ini.
Hal yang tidak bisa aku terima darinya adalah main perempuannya itu. Budi sering membawa wanita lain ke rumah dalam keadaan mabuk. Dia benar-benar membuatku emosi, sakit hati, hingga kami sering bertengkar dan pada akhirnya tubuhku menjadi sasaran empuk pukulan darinya yang kalap. Sangat memuakkan memang perilaku Budi yang tak tahu diri itu.
Kini aku kembali ke rumah orang tuaku dan menunggu si jabang bayi lahir.
Aku sudah tidak memikirkan suamiku yang bejat itu karena dia telah membuatku sengsara. (*)

0 Tanggapan untuk "Suamiku Bejat, Rumah Tangga Ku Hancur"

Posting Komentar