"Awas Bert, ular!" Suara Sasongko mengagetkan diriku. Aku meloncat menghindar. Hampir saja ular itu menabrak kakiku.
"Ughhh, untung saja tidak menabrakku. Besar juga itu ular,"
"Iya Bert, kalau saja dia menabrak dan mematukmu, bukan tidak mungkin kamu akan luka parah karena itu adalah ular berbisa yang paling berbahaya di daerah sini.
Yuk kita lanjutkan," Kami melanjutkan perjalanan. Sesekali kami memeriksa sekitar, siapa tahu saja ada tanda-tanda akan keberadaan mereka.
"Apa itu mas? Kok aku belum pernah melihatnya sebelum ini,"
"Mana? Oh itu. Itu hanya bias cahaya mentari yang jatuh ke pucuk gunung kok Bert, bukan apa-apa," Setelah beberapa jam kami berjalan menelusuri lereng gunung, kami pun berhenti untuk meluruskan otot kaki yang terasa pegal. Seekor hewan melata kembali melintas di dekat kami duduk. Seakan hewan itu ingin memberikan kabar jika sesuatu telah terjadi pada kedua wanita yang kami cari.
"Kita lanjutkan Bert. Sebelum malam tiba, kita harus sampai di atas," Kata mas Sasongko. Baru saja kaki hendak melangkah, tiba-tiba ular yang sama dan ukuran besarnya melintas di depanku. Aku sempat kaget dan mundur selangkah, takut kalau terkena patulannya.
"Aneh, ular itu kembali mengganggu kita mas,"
"Biarkan saja Bert. Dia bukan mau mengganggu tapi ingin mengantarkan kita ke sebuah tempat,"
"Benarkah mas?"
"Iya Bert. Kita ikuti saja kemana dia pergi," Ujar mas Sasongko, dengan agak takut akhirnya aku mengikuti ular tadi bersama temanku tersebut.
Hujan gerimis yang tadi sempat mereda kini turun lagi. Dengan memakai jas hujan, kami terus melangkah mengikuti ular itu menyibak semak belukar.
Dadaku dag dig dug, takut kalau tiba-tiba ular itu berbalik arah dan menerjang kami.
"Kemana ular tadi mas?"
"Tidak tahu, kita terus saja,"
"Itu dia,"
"Awas Bert! Di depan ada jurang," Suara mas Sasongko agak keras memperingatkan. Kuperlambat langkah kaki.
"Apa mereka ada di jurang itu,"
"Bagaimana mas?"
"Kita periksa jurang di depan, siapa tahu ada petunjuk disana,"
"Bau apa ini?!" Langsung kututupi mulut dan hidungku karena mencium bau yang tidak sedap.
"Emmm, seperti bau mayat yang membusuk Bert,"
"Bau mayat? Jangan-jangan...., Roro....., Winda.....," Seketika darahku berdesir. Aku panik, aku berteriak memanggil mereka.
"Robert, kita turun ke bawah sana. Kita cari tahu bau mayat siapa sebenarnya,"
"I i iya mas," Kami menuruni dinding jurang dengan petalatan tali seadanya. Jurangnya tidak terlau dalam sehingga tidak lama kemudian kami sudah sampai ke dasarnya.
Kami tersentak kaget, ada dua tubuh manusia yang tergeletak dan menebarkan aroma menyengat.
Tajam mataku memperhatikan tubuh-tubuh itu.
"Roro.....!!! Winda...!!!" Suaraku seakan hendak meruntuhkan dinding jurang. Mereka adalah Roro dan Winda.
"Kamu mengenalnya Bert?"
"Dia Roro dan Winda. Aku mengenal kalung dan gelang yang mereka kenakan mas.....," Aku menangis. Menangis karena mendapati mereka yang seperti itu. Roro dan Winda telah menjadi mayat. Roro dan Winda meminggal di dasar jurang itu.
Tangisku tidak bisa ditahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Orang yang aku cintai telah meninggalkan diriku. Sahabat baikku juga pergi bersamanya.
Mas Sasongko mencoba menenangkan diriku, tapi aku tak bisa menerima kenyataan ini.
Kami kemudian naik ke atas jurang. Aku menghubungi keluarganya Roro dan Winda, mengatakan kalau mereka sudah kami temukan dan dalam keadaan meninggal. Sementara itu mas Sasongko langsung menghubungi pos pemantau gunung dan Kepolisian.
"Sabar Bert, tenangkan dirimu. Kita tidak meminta hal ini terjadi pada mereka bukan? Melainkan atas kehendak-NYA,"Ucapnya. Aku mengangguk meski kesedihan teramat sangat mengiris-iris hatiku.
Menjelang petang, petugas pemantau gunung, tim SAR, anggota Kepolisian, mereka tiba di lokasi dan segera mengevakuasi korban.
Jenazah Roro dan Winda selanjutnya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk di visum.
"Aku tidak pernah menyangka kalau Roro akan meninggal seperti ini," Suara ibunya Roro dengan terisak. Sementara bapaknya Roro juga tak henti-hentinya mengusap air mata.
Tidak lama kemudian keluarganya Winda tiba di ruang otopsi. Ibunya Winda langsung menjerit histeris melihat anaknya yang telah meninggal itu. Aku sendiri terduduk lemas di pojok ruangan itu dan kembali mengusap air mata yang mengalir ke pipi.
Kami sangat terpukul atas kepergian mereka.
(Tamat).
0 Tanggapan untuk "Tangisanku di Gunung Merbabu, Part 2, Tamat"
Posting Komentar