Kepayahan Tanpa Tongkat

Tertatih langkahku dalam menuju, ke sebuah tempat yang mungkin akan memberikan diriku rizki.
Aku terus berjalan meski satu kaki ku terseok-seok karena sedari kecil cacat yang kiri.
Sesekali ku seka peluh yang terus membasahi wajahku, meski tanganku kotor penuh partikel debu.
Langkahku terhenti ketika sebuah mobil melaju lumayan kencang di hadapanku. Hampir saja tubuh keringku tertabrak olehnya.
Bukan aku iri atas kemewahan mobil yang baru saja melintas. Namun diriku merasa terhina oleh lontaran sumpah serapah yang ditujukan kepadaku oleh manusia di dalam mobil itu.
Dengan wajah yang semakin memerah karena sengatan terik matahari, aku terus berjalan menyusuri legamnya jalan beraspal.
Sesekali ku hentak-hentakkan tongkat bambu ke jalan karena tanganku mulai terasa gemetaran.

"Apa itu?" Kupandang sebuah tas plastik berwarna hitam teronggok di pinggir trotoar. Dengan berharap bahwa itu adalah rizki buatku, diriku pun mendekati plastik itu.
Kusentuhkan tongkat ke benda tersebut, kelihatan isinya barang lunak. Ku ambil dengan tangan, ku perhatikan kemudian aku buka.

"Sialan!" Ternyata isinya kotoran manusia.
Aku menggerutu dan langsung melemparnya ke tempat sampah tidak jauh dariku berdiri.
Ternyata masih ada saja manusia yang berulah seperti itu dengan membungkus kotorannya menggunakan tas plastik dan membuangnya disembarangan tempat.

Apa daya, diriku telah letih, tenagaku rasanya sudah habis setelah menelusuri jalan sejak pagi tadi.
Aku terduduk di pinggir trotoar, jauh dari plastik berisi tinja itu.
Mataku nanar memandang jauh ke arah gadis kecil yang tengah berjalan sendiri. Aku tersenyum, dalam benakku berkata 'Mungkin dia bisa memberiku receh untuk membeli sekantong kecil air minum.
Dia terus berjalan ke arahku dengan riangnya.

"Nak, kasihanilah kakek," Gadis itu menoleh ke arahku. Dia berhenti dan memandangku dengan seksama.

"Nggak ah, kakek ini yang kemarin diusir sama bapak kan?" Kata dia, dengan cepat gadis kecil itu berlari dari hadapanku.

"Uuughhh," Semakin kelam saja wajahku. Aku pukul-pukulkan tongkat ke jalanan. Aku pandangi gadis kecil tadi yang kemudian menghilang di sebuah gang jalan.
Nasibku hari ini pun sama dengan kemarin.
Aku berdiri dengan kaki gemetaran. Ku pandangi tongkat di tangan, sepertinya memang telah lapuk dan harus segera diganti.
Aku berjalan lagi dengan nafas sesak di dada. Kedua mataku terasa perih oleh terpaan angin dan debu.

"Itu ada kayu, sangat pas untuk menggantikan tongkat usang ini.
Akhirnya aku menemukan penggantimu wahai tongkatku.
Terima kasih karena kamu telah menemaniku sekian lamanya.
Maafkan aku jika selama kamu menemaniku, kamu mendapatkan tempat yang yang tak layak, bahkan kusentuhkan ke tinja dalam bungkusan pastik itu. Nasibmu tidak beda jauh denganku wahai tongkat," Kuletakkan tongkat usangku nan lapuk terbuat dari bambu kecil. Kini sebuah kayu kupegang dan akan menemaniku kemana pun diriku melangkah.

'Ciiiiiiiiiiiiiitttttt' "Woy, matamu kemana!" seorang pria dewasa berteriak keras kepadaku. Hampir saja diriku tersenggol sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Si pengendara mengerem kuat sekali, sampai-sampai kendaraannya zig zag. Untung dia kembali melaju dan tidak memukul diriku, dasar nasib...!!!

Di tengah dadaku yang berdegup kencang itu, seorang remaja nyeletuk dengan perkataannya yang membuatku geram.

"Kek, kok langkah kakinya kalah sama tongkatnya sih, hahahaaa," Dia tertawa terbahak. Aku hanya terdiam memandangnya. Ingin diriku memukulnya dengan mengangkat tongkat di tangan. Tapi kemudian ku urungkan karena kulihat wajahnya mirip cucuku yang kini entah dimana.
Tak terasa air mataku menetes, mengalir membasahi pipi keriputku.
Kupandangi terus dirinya sampai hilang di tikungan jalan.

Hari itu aku tiada gairah lagi menjalani hidup. Sekarang yang ada dibenakku adalah rasa kangenku pada cucu perempuanku. Yach, remaja tadi mejadikan diriku resah untuk yang kesekian kalinya dalam hidupku.
Kini, aku ingin berjumpa dirinya, walaupun sebatas memandangnya, karena aku sangat sadar jika dirinya pun akan jijik denganku.

Langkahku terseok dalam meniti. Pandanganku buram dalam kelelahan. Kusandarkan tubuhku pada batang pohon hingga diriku terlelap. Aku pun suram dalam kenyataan hidup.

Betapa aku tersentak kaget saat diriku terjaga. Kuraba keberadaan tongkat yang tadi disampingku sebagai penopang kakiku yang satu, tapi tak kutemukan.
Mataku nanar mencarinya, tapi tidak ada di sekitarku.

"Kemana tongkatku? Hemmm," Aku pun kepayahan tanpa tongkat itu. (*)

0 Tanggapan untuk "Kepayahan Tanpa Tongkat"

Posting Komentar