Kilat di angkasa terlihat mengerikan meliuk menghantam yang ada disana.
Angin tiba-tiba bertiup kencang memerindingkan pori-pori kulit.
Di tengah kegelapan malam, Aku dan si Culun berjalan tanpa adanya penerangan.
"Tumben ini si Bulan kekasih Bintang nggak muncul, ya Jhon,"
"He'emmm, tumben sekali malam ini gelap gulita, jadi takut nih,"
"Lihat itu Jhon, apa itu," Tunjuk Culun ke sebuah tempat yang sangat gelap.
"Mana Lun? Ah nggak ada apa-apa kok,"
"Itu tu....," Dia menarik hidungku sampai terasa sakit sekali. Tapi aku tidak melihat apa-apa.
"Apa sih Lun...? Sudah ah, jalan lagi yuk,"
"Aduh,"
"Kenapa sih kamu Lun?"
"Tidak tahu ini Jhon, seperti ada yang menimpukku," Si Culun tengak-tengok mencari sesuatu, mungkin yang menimpuknya.
Tiba-tiba saja, 'Krosak!' sesuatu seperti dilemparkan oleh seseorang dari kegelapan.
"Apa itu? Siapa yang melempar woi! Ayo keluar," Suara si Culun, dia kangsung mengambil batu jalanan.
"Apa itu Lun putih-putih seperti melayang," Diriku langsung merapat ke tubuh si Culun yang berbadan gendut. Sebentar kemudian 'Wuzzzzz, krosak' si Culun melemparkan bongkahan batu digenggamannya.
"Hu hu hu huuuuu,"
Suara tangis terdengar tidak jauh dari tempat kami berdiri.
"Suara tangis siapa itu Lun, hiiiii suaranya seram," Semakin lama sesosok putih itu terlihat jelas. Bulu kuduk kami semakin berdiri saat lelihat wajah pucatnya.
Rambutnya panjang terjuntai hampir sampai ke tanah jika dia berdiri, tapi sesosok itu berayun di atas pohon yang kalau tidak salah itu adalah sebuah pohon Karsen.
Aku dan Culun mundur beberapa langkah. Kami mengambil ancang-ancang kemudian mengambil langkah seribu alias lari terbirit-birit.
Entah bagaimana makhluk itu sudah berada di depan kami. Aku dan Culun mendadak menghentikan langkah lari kami.
Dia tajam menatap ke arah kami, terutama kepada si Culun. Kemudian "Aduh," Culun mengaduh karena sesuatu mengenai tubuhnya.
"Siapa yang melempar diriku?!"
"Kenapa Lun?"
"Ini, ada yang melemparku. Jangan-jangan dia yang... lari...!!!" Suara si Culun dan berlari dengan cepat. Aku pun mengejarnya.
'Bruk!' "Hu hu hu huuuuu," Sesuatu seperti ambruk tidak jauh dari kami. Makhluk itu kembali sudah berada di hadapan kami. Dia menangis dengan tubuhnya berayun-ayun di pohon Karsen.
Kebetulan rembulan sudah muncul dan menerangi hingga kami bisa melihat makhluk itu meski remang-remang.
"Kuntil Anak, lari...!!!" Si Culun berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan diriku. Aku kembali menyusul larinya.
Kami balapan menuju ke rumah di malam itu karena takut melihat makhluk bernama Kuntil Anak yang menangis di atas pohon Karsen dengan berayun-ayun. (*)
0 Tanggapan untuk "Tangisan Kuntil Anak di Pohon Karsen"
Posting Komentar